About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, Oktober 19, 2014

Kamu Memang Manis, Maafkan Aku!

Aku tak mau kamu,
Tapi kamu tetap mengikutiku ke mana pun
Aku tak peduli kamu,
Tapi kamu tetap setia padaku
Membuat dan membacakannya untukku
Mendagi Everest bahkan jika kuminta
Mauku adalah mandat bagimu
Kamu manis sekali

Aku mau kau pergi
Tapi kau mau bahkan menungguku seribu tahun lagi
Cintamu akan tetap ada dan tumbuh
Dan kau begitu yakin suatu hari  nanti
Aku akan jatuh cinta padamu
Kamu memang manis

Aku seringkali mengecewakanmu
Tapi kau tak pernah bisa marah kepadaku
Kau memberi terlalu banyak kepadaku
Aku memberi terlalu sedikit harapan untukmu
Kau mau untuk menyebrangi batas-batas itu,
Hanya untuk melihatku
Kau rela menunggu berjam-jam,
Hanya untuk mendengar suaraku

Kau bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin
Jika itu titahku
Aku menjadi penyemangat dan motivatormu
Ketika aku bahkan hanya diam
Aku menjadi alasan untukmu terus hidup dan berjuang
Ketika kau bahkan tidak ada di hatiku
Kamu memang manis

Sungguh, bukan aku tak tahu berterima kasih
Tapi jatuh cinta tak bisa disuruh
Ia datang alami sebagai takdir
Aku berusaha untuk menyingkirkanmu,
Tapi kau bersikukuh tetap berusaha
Masuk ke dalam hatiku
Untuk menjadi laki-laki paling istimewa dalam hidupku

Kini aku mulai berpikir
Akankah kulepaskan kamu,
atau menunggu diriku sendiri mencintaimu?
Tapi sampai kapan?

Kamu yang manis, aku menyukai orang lain sekarang...

Sabtu, Agustus 02, 2014

Segera Terbit: The Power of Inspirative Story (salah satu tulisanku masuk situ :D)

Terkadang aku bingung,
aku punya bakat nulis apa nggak sih???
 Kayaknya ada deh, tinggal dilatih ajaaa.
 
Gak nyangka tulisanku malah dibukukan, dari event menulis flash true inspiring story bertema pengalaman inspiratifku. Diadakan oleh pemilik grup The Power of Story di fb. Coba gabung aja.
Ceritanya singkat sih, soalnya memang dibatasi panjang naskahnya.
Naskahku bukan naskah terbaik, tapi aku bahagia. Akhirnya tulisanku di-recognized, istilah temanku.
Buku ini mirip kumpulan cerita di buku Chicken Soup.
 
kalau berminat beli, sudah dibuka:
Preorder buku “The Power of Inspirative Story”
Judul: The Power of Inspirative Story
Penulis: PoS Lovers
Tebal: vi + 149 hlm – kertas bookpaper
ISBN belum keluar. Akan diterbitkan melalui diandracreative.com

Harga normal: Rp. 40.000,- (belum ongkir)
Harga preorder khusus kontributor: Rp. 32.000,- (belum ongkir)
Harga preorder khusus non kontributor: Rp. 37.000,- (belum ongkir)

Cara untuk pemesanan selama preorder, ketik:
Preorder.
Nama Asli: ……….
Alamat Lengkap (selengkap-lengkapnya): …………
Jumlah yang dipesan: ………….
No. HP: ………….
Judul naskah yang lolos (bagi kontributor):
Kriim ke 0838 7051 3168 (a.n. Muhammad Dede Firman)
Atau ke inbox fb Muhammad Dede Firman.

MASA BERLAKU:
1. Untuk pemesanan buku selama preorder ini berlaku mulai dari 1 Agustus 2014 s/d 14 Agustus 2014.
2. Untuk transfer pembayarannya berlaku mulai dari 1 Agustus 2014 s/d 21 Agustus 2014.

TRANSFER PEMBAYARAN:
Ke rekening Mandiri 133-00-1230315-2 a.n. Faridah Fauziah.

ONGKOS KIRIM:
Ongkos kirim ditanggung pemesan, dihitung dari kota Bogor ke alamat pemesan melalui jasa pengiriman JNE. Untuk berat 1 kg bisa muat 4 buku. Jika mau cek sendiri ongkirnya silakan buka website http://jne.co.id

Oh ya, selama preorder ini ada BONUS.
Bagi yang beli 1 buku, bonus 1 bross rajut (berlaku kelipatan, lho)
Kalau mau beli bukunya, pesan sekarang aja biar dapat harga lebih murah dan dapat bonusnya.

;)

 

Sabtu, Juli 05, 2014

Suatu Hari di Hari Ujian



Suatu hari di hari ujian, aku syok mendapatkan suatu masalah besar. Bukan salahku, tapi besar sekali dampaknya bagiku. Aku jatuh ke dalam sebuah kesedihan yang sangat dalam. Aku tak pernah mengira itu akan menimpaku. Tidak, itu bukan sekedar menimpa, itu menghujamku, menghancurkan keceriakanku untuk beberapa waktu. Menghilangkan kepercayaanku pada tokoh antagonisnya. Menghilangkan rasa sayangku yang pernah dengan tulus kubangun. Semuanya hilang. Rasa sayang itu bahkan kuragukan masih kumiliki sampai sekarang, setelah enam tahun berlalu.
Saat itu aku begitu terguncang. Tapi aku harus tetap meneruskan ujianku yang baru sampai hari kedua. Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, menempati bangku ujianku, dan mengerjakan soal. Sebagai anak yang tertutup, aku dengan otomatis menyembunyikan kesedihanku. Aku berpura-pura ceria dan bahagia selama di sekolah. Semua teman dan pengawas ujian kami, benar-benar tertipu oleh senyum dan tawa bohongku. Semuanya. Semua teman-temanku. Kecuali dia.
Entah bagaimana dia melakukannya. Tapi dia menghampiriku pada jeda istirahat dan menanyakan kabarku. Bertanya kabar bukanlah kebiasaan kami. Aku menjawab baik-baik saja. Dia bertanya lagi, apa semuanya baik-baik saja. Aku menjawab ya. Benarkah, tanyanya. Ya, jawabku. Kamu bohong, cetusnya. Nggak, bohong apa? Tukasku.
“Aku tahu kamu lagi sedih kan,” katanya lembut dengan mata begitu tulus. Aku masih ingat ekspresi wajahnya saat itu.
Aku kaget. Dari mana dia tahu? Aku sudah terlihat ceria seperti biasanya. Semua orang juga tertipu, kenapa dia tidak?
Nggak kok, elakku.
“Alvi, aku bisa lihat tahu. Kelihatan dari matamu. Kamu gak bisa bohong sama aku.”
Nggak kenapa-kenapa kok, menjadi jawabanku dari balik keadaanku yang kenapa-kenapa. Akhirnya dia menyerah mendesakku.
“Ya sudah, kalau ada apa-apa bilang aja ya.”
Aku yang tertutup. Aku yang ekstrovet. Aku terlalu terpukul untuk menyadari bahwa dia ada untukku. Bahwa aku boleh menceritakan masalahku kepadanya. Bahwa aku tak usah memikulnya sendirian. Bahwa bukan kesalahanku jika aku tak bisa menyelesaikan masalah itu. Bahwa tak apa-apa jika aku mau menangis.
Sampai beberapa tahun aku tak mampu menceritakannya. Seharusnya kuberi tahu dia yang sesungguhnya. Sebelum kami berpisah dan berada di sekolah yang berbeda. Sebelum aku merindukannya selama enam bulan penuh kemudian. Dan menyesal. Mengapa aku begitu tertutup.
Aku, benar-benar tidak menyadari bahwa, hari saat dia menanyakan keadaanku itu, dia adalah sahabat terbaik pertamaku. Dan akan selamanya begitu.
Saat aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengungkapkannya, dia sudah tak lagi di sisiku sebagai sahabatku yang dulu. Tapi tetap saja, dan tentu saja, dia mengerti. Dia menerimaku kembali. Dan akan selamanya begitu.

Ceritaku dan Dia



Aku pergi ke sekolah setiap hari. Belajar dengan baik. Bergaul dengan teman-temanku. Bercanda, tertawa, makan bersama, dan seterusnya.
            Tapi aku tak selalu benar-benar menikmatinya. Banyak pula bagian dari itu yang hanya pura-puraku saja. Aku iri. Aku iri pada teman-temanku yang tetap bisa dekat dengan sahabatku, sementara aku tersingkir.
Kesalahan dan kesalah pahaman bodoh yang kekanak-kanakan. Lebih bodoh lagi, aku tak meluruskannya. Aku membiarkannya semakin parah. Aku menyedihkan diriku sendiri dan sahabatku.
Tapi saat itu, aku memang benar-benar tak tahu tindakan apa yang harus kuambil. Mulutku terkunci sampai saat-saat terakhir. Kata-kata tak pernah keluar, kutinggalkan tak terucapkan.
Aku menyayangi sahabatku. Pertama kalinya aku merasa benar-benar memiliki sahabat adalah ketika aku dengannya. Kenyataan itu semakin indah ketika kutahu, dan bahkan dengan terang-terangan, ia menunjukkan kepadaku bahwa persahabatan kami adalah nyata, dan tulus.
Meskipun ada teman-teman dekat lain di geng kami, aku tetaplah teman terbaiknya. Akulah tempat pertama curahan hatinya. Akulah orang pertama tempatnya mengobrolkan dan mendiskusikan berbagai hal. Akulah pilihan pertamanya untuk dijadikan sahabatnya. Akulah. Aku tahu itu. Karena ia menunjukkannya. Dan dia terhadapku, adalah sama bagaimana aku untuknya.
Persahabatan kami sangat indah, khas anak sekolahan.
Dia anak orang kaya, tapi dia sama sekali tak sombong. Dia sering mentraktirku.
Dia cantik, tapi juga tak sombong. Dan justru bahagaia berteman denganku yang buruk rupa.
Dia sangat baik, sopan, tutur katanya lembut. Dia penyabar. Dia sangat pintar. Dia pandai menulis, sekaligus jago ilmu eksakta. Sempurna. Tapi dia justru selalu menganggapku jauh lebih pandai darinya. Dia belum menyadari mutiara intelek terpendam dalam dirinya.
Dia menerimaku kembali, jika saja saat itu aku menjelaskannya.
Tapi saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana.
Dia merindukanku, sangat. Aku tahu itu.
Aku pun begitu.
Tapi tetap aku masih bergeming.

Waktu terus berjalan, meninggalkan mereka yang tak mampu meraih kemungkinan besar yang akan mengubah kehidupannya.
Waktu terus berjalan, dia semakin menjauhiku.
Dia bahagia, atau mungkin pura-pura bahagia, dengan kawan se-gengnya. Ya, kawan, bukan sahabat. Kutahu, dari hatinya yang terdalam, saat itu masih tetap aku sahabatnya—teman terbaiknya.
Aku juga senang dengan sahabat-sahabat baruku. Tapi aku sedih harus kehilangan dia. Aku rela kehilangan sahabat-sahabat baruku ini untuk mendapatkannya kembali. Tapi bagaimana???
Kadang aku berpikir, mungkin sekarang dia benar-benar sudah tidak menganggapku sahabat lagi.

Tapi,
suatu hari aku terserang sakit.
Aku hampir tak pernah sakit.
Aku selalu sehat dan ceria, dan kocak, dan konyol.
Aku terbaring di rumah sakit.

Dia tentu saja menjengukku. Penampilanku acak-acakan. Aku tak bisa bangun. Aku melihatnya berlutut di sampingku. Aku masih berada di ranjang darurat UGD saat itu. Dia mungkin hampir tak percaya aku bisa sesakit itu. Ketika keram ototku muncul, aku merintih-rintih kesakitan selama beberapa menit. Keram itu sering muncul, sebagai reaksi dehidrasi tubuhku yang tak mendapat cukup air ketika sakit beberapa hari sebelumnya.
Dia melihatku tak bisa menahan rasa sakit itu. Ketika rasa sakit itu akhirnya mulai hilang, aku lebih tenang, tapi aku menangis. Kutarik selimut sampai ke hidungku. Aku mengucapkan namannya, lalu kukatakan, “aku sakit.”
Saat itu.
Saat itu.
Ya, saat itu aku, mendengar sesuatu. Di sampingku.
Dia menangis.
Dia sesenggukan di samping tubuhku.
Dia tak bisa berhenti menangis.
Isakannya pelan, tapi sangat jelas terdengar sedih.
Dia terus menangis sambil menyebut namaku.
Dia terus menyebut namaku. Hanya itu yang diucapkannya.
Dan dia terus menangis dengan mengulang-ulang namaku.
Saat itu,
aku tahu, aku sadar. Dia selalu sahabatku. Dia tak pernah menganggapku bukan sahabatnya. Aku tahu, aku sadar, dia menyayangi dengan tulus.
Aku tahu. Aku sadar.
Kukira dia melupakanku. Ternyata dia tidak bisa.
Begitu pun aku.

Aku tahu. Aku sadar.
Kita saling menyayangi. Saat itu.
Aku tahu itu.

Kamis, Juni 05, 2014

Kau, Alasanku Meneruskan Hidup Kembali



Ketika jalan terlihat seolah buntu.
Di situlah kau berkata,
“kegagalan adalah jalan memutar, bukan buntu.
Kita hanya perlu berjalan sedikit lebih jauh
untuk menjemput kesuksesan itu.”
                                         
Ketika harapan kulihat begitu gelap, muram, dan buram.
Saat itulah kau berkata,
“saat-saat tergelap di malam hari bahkan adalah
beberapa menit mejelang fajar.”

Masa ketika aku merasa hidupku sudah berakhir,
Kau seret jauh gorden ketakutan dan berkata,
“meskipun aku tak mampu menyelesaikan masalahmu,
Atau bahkan membuatnya sedikit terlihat lebih baik,
Aku tak akan membiarkanmu menghadapi masalahmu sendirian.”

“Tentu saja akan kutemani, bodoh.”

Ketika sisa-sisa kekuatan dan puing-puing semangat berserakan tak mampu membangkitkanku dari jatuh.
Berkatalah kau,
“aku akan selalu ada di sini bersamamu, mempercayaimu. Apa pun yang terjadi.
Karena kutahu, kau selalu melakukan dan memilih yang terbaik.”

Kau begitu sejati dan nyata.

Dan di atas segalanya,
takdir atas kehadiranmu,
dan kepemilikanku atas dirimu:
Kau adalah alasan untukku meneruskan hidup kembali.

Terima kasih. Kau yang sahabatku.

Senin, April 28, 2014

AKU

Bolehkah aku merasa lemah?
Bolehkah aku menangis sekali saja?
Bolehkah aku meratapinya sekali saja?
Aku hanya lelah berpura-pura
Menyangkal semuanya salah
Menganggap semuanya baik-baik saja
Aku muak pada senyum pura-pura bahagiaku
Aku benci sapaan pura-pura ceriaku
Sesungguhnya keriangan itu adalah dusta
Sedusta waktu bisa dikembalikan
Aku tak punya kuasa menahan takdir

Aku tak berdaya bahkan hanya untuk menerimanya