Sumpah Pemuda lahir pada masa
radikal para pemuda terpelajar. Atas inisiatif mereka, didirikanlah sebuah
wadah untuk menyatukan seluruh kaum muda sehingga mempermudah pencapaian
cita-cita bangsa. Dirintis sejak mulai terbentuknya Budi Utomo, para pemuda
memisahkan diri dan membentuk Tri Koro Dharmo sebagai gerakan pemuda pertama yang
sesungguhnya. Lalu namanya diganti menjadi Jong
Java. Muncullah gerakan-gerakan kepemudaan yang lain di berbagai daerah,
seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong
Islamieten Bond, dll.
Maka untuk mencapai persatuan dari
seluruh pemuda, diadakanlah Kongres Sumpah Pemuda pada 30 April-2 Mei tahun
1926 di Waltervreden (sekarang
Jakarta). Namun tidak dicapai kata sepakat
dari seluruh peserta yang hadir karena masih kuatnya rasa kedaerahan
masing-masing. Lalu dilanjutkan dengan Kongres Sumpah Pemuda II pada
27 dan 28 Oktober 1928. Kongres tersebut menghasilkan sebuah ikrar yang sampai
sekarang dikenang dan dijadikan patokan janji setia generasi muda Indonesia,
yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun selanjutnya para pemuda
itu ditekan dan dikekang oleh pemerintah sehingga merugikan mereka. Melihat
kondisi ini, mereka lalu berniat mengadakan Kongres Pemuda III pada tahun 1936,
tetapi gagal karena tidak mendapat izin pemerintah. Barulah pada tahun 1938
berhasil diadakan Kongres Pemuda III di Yogyakarta. Hasilnya ialah federasi
organisasi-organisasi pemuda dengan pusat di Jakarta, dan mengganti kata
“kemerdekaan Nusa dan Bangsa” menjadi “menjunjung martabat Nusa dan Bangsa.”
Pada awal tahun 1900-an banyak dari
kalangan pemuda yang sudah geram terhadap perjuangan yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia namun tetap mementingkan rasa kedaerahan. Perjalanan penting dimulai
sejak mulai berdirinya berbagai organisasi modern baik yang bersifat lokal
maupun keagamaan. Para pemuda
yang bergabung dalam berbagai organisasi tersebut kemudian menyatakan kesetiaan mereka pada sebuah momen
penting pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu pada Kongres Pemuda II. Kemajemukan
bangsa Indonesia saat itu benar-benar lebur menjadi satu. Tak ada lagi egoisme
kedaerahan yang berlebihan.
Ikrar
pemuda-pemudi Indonesia yang terpelajar itu dilaksanakan di Jakarta 84 tahun
yang lalu. Dengan semangat persatuan, kesatuan, dan kemerdekaan yang memekik
menggelora di dalam sukma dan raga mereka. Sebuah janji akan perjuangan
memerdekakan negeri tercinta bersama-sama dengan seluruh kalangan cendekiawan
muda dari seantero nusantara, tanpa mengindahkan lagi perbedaan suku, bahasa,
adat, agama, dan kedaerahan. Mencampurkan kesemuanya menjadi satu di bawah
panji Merah Putih. Dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan pertama kali
secara resmi dengan biola dari penggubahnya, W. R. Soepratman, mengiringi jalannya
sidang sebelum teks Sumpah Pemuda dibacakan di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat, yang saat itu
merupakan milik seorang warga keturunan Tioghoa bernama Sie.
Kongres saat itu dihadiri golongan pemuda
dari berbagai daerah dan berbagai organisasi kepemudaan, bahkan hadir juga 4
orang golongan timur asing Tionghoa sebagai peninjau, antara lain: Kwee Thiam
Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien kwie. Selain itu, kaum
perempuan Indonesia juga mengadakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta
pada 22 Desember 1928 dengan tujuan berjuang bersama kaum pria untuk cita-cita
kemerdekaan dan meningkatkan kedudukan wanita dalam bidang-bidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Para
pesertanya merupakan para pemudi dan ibu rumah tangga.
Bahkan pada tahun 1934 juga
dilaksanakan sumpah pemuda keturunan Arab di Indonesia. Salah satu dari mereka,
yaitu A. R. Baswedan, meski keturunan arab, ia tidak membedakan
dirinya dengan orang Indonesia lainnya, khususnya ia terus menyerukan lewat Harian Matahari
Semarang untuk mengajak seluruh keturunan Arab Indonesia untuk mencintai dan
menjadi bangsa Indonesia yang sejati, tanpa memperhatikan asal-usul, ras, dan
perbedaan yang lainnya.
Akhirnya dicetuskanlah ikrar para
pemuda keturunan Arab itu pada 1934, sebab mereka dibesarkan di tanah air
tercinta Indonesia, bahkan dilahirkan dari ibu yang asli Indonesia. Tidak
seperti orang-orang Belanda yang menyebut kaum pribumi sebagai inlander, yang berarti bangsa kuli, para
pemuda keturunan Arab yang kebanyakan berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan tersebut, menyebut orang Indonesia asli
sebagai ahwal, atau saudara ibu.
Sejak diproklamirkannya sumpah setia
para pemuda, perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin memperlihatkan titik
terang. Kemampuan diplomasi dan intelektual yang tinggi, mampu menyejajarkan
dan mengalahkan kekuatan asing yang merongrong Indonesia selama ratusan tahun. Tanggal 28
Oktober 1928 sebenarnya merupakan fakta paling keras sebagai hari kebangkitan nasional,
seperti dipaparkan Syafii Maarif,
“Dengan Sumpah
Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya
meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang
tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah
ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa:
Indonesia.”
Dengan cita-cita, semangat, usaha,
dan do’a, para pemuda berhasil menyumbangkan jiwa, tenaga, hati, harta, dan pikirannya,
bahkan pada tahun 1945, terbukti para pemuda berhasil mempercepat kemerdekaan, bahkan
dengan tidak sebagai hadiah dari
Jepang atau negara mana pun.
Para pemikir muda ini menyadari
bahwa pendidikan menjadi elemen penting perjuangan, dengan hanya mengandalkan
perang fisik dan senjata seadanya tak akan pernah mampu mengusir kekuatan para
penjajah yang tidak bodoh itu. Dengan pendidikan bagi generasi penerus, sejarah
di seluruh dunia membuktikan akan tumbuh dan mengakarnya kesadaran yang jauh
lebih tinggi dalam hal cinta tanah air, persatuan, kesatuan, kemerdekaan, dan
kesejahteraan bangsa dan negara.
Perjuangan
para pemuda selalu muncul dengan hasil yang signifikan di setiap momen sejarah.
Baik pada masa pergerakan nasional, pra dan pasca kemerdekaan, masa Orde Lama,
Orde Baru, juga reformasi. Karena mereka menyadari, setelah naskah proklamasi didengungkan ke seluruh dunia,
tak berarti perjuangan telah usai. Akan selalu ada kekuatan asing atau pun
kekuatan dari dalam bangsa sendiri yang akan merusak kejayaan Indonesia yang
kaya sumber daya alam dan manusia ini. Maka prestasi pemuda akan selalu
tertoreh dalam sejarah sebagai revolusioner dalam setiap perjungan bangsa dan negara
ke arah yang selalu lebih baik. Tak pernah ada kata diam dan menonton ketika
ketidakadilan berjalan dengan mulus dan tanggung jawab diperjualbelikan.
Mahasiwa turun ke jalan. Mahasiswa mengkudeta, menggulingkan pemerintahan yang
tidak memuaskan rakyat. Bahkan mahasiswa menjadi momok menakutkan bagi para
penguasa, karena keberanian dan kegigihan semangat mereka yang tak pernah mau
padam bisa menghancurkan kekuasaan siapa saja.
Banyak yang menilai bahwa kini hampir
tak ada lagi kebanggaan dalam diri
pemuda ketika
melaksanakan upacara bendera, peringatan sumpah pemuda, hari kesaktian
Pancasila, dan seterusnya. Kini generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu
bukan untuk belajar dan berusaha. Mereka lebih senang membuang waktu dengan
percuma, bahkan dilaknat oleh ketentuan agama dan hukum. Narkoba, seks bebas,
dan tawuran, menjadi gambaran
pemuda saat ini, dengan
melihat kondisi dan fakta saat ini yang sebenarnya, para pemuda pahlawan yang
dulu berjuang sepenuh hati dan ikhlas, pasti bersedih dan mengkhawatirkan arah
Indonesia selanjutnya yang akan dibawa dan diterusakan oleh generasi muda yang
memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme yang rendah.
Di tengah zaman yang semakin maju
ini, tidak menjadikan pemikiran, sikap, dan tingkah laku generasi muda ikut
maju pula. Hasil yang didapat adalah semakin memburuknya moral sebagian para
pemuda. Jika kita bercermin pada sejarah, sungguh berbeda kualitas intelektual
dan nasionalisme generasi muda saat ini dengan para pemuda masa perjuangan
kemerdekaan. Wajah pemuda saat ini bukanlah bersatu, melainkan berkubu-kubu
saling memaki dan mengeroyoki. Jika tidak begitu, maka narkoba dan seks
bebaslah yang memantulkan bayangannya. Bahkan kejujuran pun dianggap sebagai
suatu hal kecil yang patut dilanggar. Korupsi dan budaya menyontek telah
tertanam dan semakin mengakar pada diri hampir seluruh para pelajar di
Indonesia.
Bahkan baru-baru ini para pemuda yang merupakan mahasiswa
dari Universitas Khairun Ternate terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian,
bentrokan tersebut terjadi ketika para mahasiswa memperingati 84 tahun sumpah pemuda. Peristiwa semacam ini sudah sering
terdengar dan menjadi hal yang biasa. Anarkis dan amoral menjadi bagian dari
kehidupan generasi penerus bangsa. Sementara para pelajar dan mahasiswa yang
berprestasi tidak dihargai dengan layak atas cinta dan bakti kepada ibu
pertiwi.
Berdasarkan
buku karangan Dr.
Thomas Lickona, dia menyebutkan 10 tanda-tanda bangsa yang berada di ambang
kehancuran, yang, kesemua ciri-cirinya dimiliki oleh Indonesia. Antara lain: meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja; penggunaaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; pengaruh
kelompok sebaya yang kuat dalam tindak kekerasan; meningkatnya perilaku merusak
diri, seperti penyalahgunaan narkoba dan konsumsi minuman keras; semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk; menurunnya etos kerja; semakin rendahnya
rasa hormat kepada orangtua dan guru; rendahnya rasa tanggung jawab individu
dan warga negara; membudayanya ketidakjujuran; adanya rasa saling curiga dan kebencian
di antara sesama.
Apakah
kita harus kembali dijajah secara terang-terangan untuk menumbuhkan kembali
nasionalisme? Tetapi jika demikan pun, akankah generasi muda mampu
menghadapinya seperti para agent of
change dulu yang benar-benar cendekia itu? Apa dan siapakah yang layak
disalahkan?
Pendidikan dan
kedisiplinan, itulah solusinya. Dengan melihat pada kemajuan dan keberhasilan
negara-negara adikuasa, pendidikan dan kedisiplinanlah modal dalam mencapai
tujuan Indonesia yang benar-benar merdeka, adil, makmur, dan sejahtera. Karena
tak peduli Tuhan mana pun yang kita sembah, jika kita tidak mau berubah, Tuhan
tak akan memberikan kemajuan kepada kaum atau bangsa tersebut. Sebagai contoh,
lihatlah China yang tidak mempunyai agama, ekonomi mereka semakin maju di
setiap waktu. Juga India, yang memiliki dewa begitu banyak, mereka kini tengah
melangkah ke arah kemajuan. Tapi bangsa Indonesia yang mengaku memiliki Tuhan
Yang Mahaesa, masih belum menjadi negara maju sejak kemerdekaan hingga
sekarang. Pendidikan tidak hanya
dilakukan di sekolah namun keluarga dan masyarakat pun memiliki peranan penting
dalam pendidikan.
Pemuda pun harus semakin ditumbuhkan nilai cinta dan bangga terhadap
bangsanya, hal ini akan mempengaruhi para pemuda dalam bertingkah laku. Pemuda
harus semakin diperkenalkan kepada sejarah bangsa ini yang tidak merdeka dengan
mudah namun dengan tumpahan air mata dan darah, dan dalam perjuangan meraih
kemerdekaan itu pemuda menyumbangkan peranan penting. Maka pemuda masa kini harus bisa lebih bijak dalam mengisi kemerdekaan yang sudah
berhasil dicapai. Untuk itu, marilah kita gali dan koreksi kembali semangat
generasi muda untuk Indonesia yang lebih baik. Tumpaskan segala
bentuk kenakalan remaja, tingkatkan pendidikan dan kedisiplinan.
Daftar
pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V. 1992.
Jakarta: Balai Pustaka.
Pengurus Kongres Wanita Indonesia. Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. 1986.
Jakarta: Balai Pustaka.
Puar, Yusuf A. dan Matu Mona. W. R. Supratman Pencipta Lagu Kebangsaan Kita. 1976. Jakarta: CV
Indradjaya.
Usman, K. Komponis Indonesia yang Kita Kenal. 1982. Jakarta: Aries Lima.
Sumber dari internet
Supardi, http://ebookbrowse.com/4-ikahimsi-sumpah-pemuda-pdf-d228839508
diakses pada tanggal 25 Oktober pukul 13.55
http://newbensagung.wordpress.com/2011/01/02/ar-baswedan-tokoh-arab-jurnalis-dan-nasionalis-idealis/ diakses pada tanggal 25 Oktober 2012 pukul 13.08
http://regional.kompas.com/read/2012/10/24/1358012/Sumpah.Pemuda.Mahasiswa.Bentrok.dengan.Polisi
diakses pada tanggal 25 Oktober 2012 pukul 13.56.
0 komentar:
Posting Komentar