Aku
pergi ke sekolah setiap hari. Belajar dengan baik. Bergaul dengan
teman-temanku. Bercanda, tertawa, makan bersama, dan seterusnya.
Tapi aku tak selalu benar-benar
menikmatinya. Banyak pula bagian dari itu yang hanya pura-puraku saja. Aku iri.
Aku iri pada teman-temanku yang tetap bisa dekat dengan sahabatku, sementara
aku tersingkir.
Kesalahan
dan kesalah pahaman bodoh yang kekanak-kanakan. Lebih bodoh lagi, aku tak
meluruskannya. Aku membiarkannya semakin parah. Aku menyedihkan diriku sendiri
dan sahabatku.
Tapi
saat itu, aku memang benar-benar tak tahu tindakan apa yang harus kuambil.
Mulutku terkunci sampai saat-saat terakhir. Kata-kata tak pernah keluar,
kutinggalkan tak terucapkan.
Aku
menyayangi sahabatku. Pertama kalinya aku merasa benar-benar memiliki sahabat
adalah ketika aku dengannya. Kenyataan itu semakin indah ketika kutahu, dan
bahkan dengan terang-terangan, ia menunjukkan kepadaku bahwa persahabatan kami
adalah nyata, dan tulus.
Meskipun
ada teman-teman dekat lain di geng kami, aku tetaplah teman terbaiknya. Akulah
tempat pertama curahan hatinya. Akulah orang pertama tempatnya mengobrolkan dan
mendiskusikan berbagai hal. Akulah pilihan pertamanya untuk dijadikan
sahabatnya. Akulah. Aku tahu itu. Karena ia menunjukkannya. Dan dia terhadapku,
adalah sama bagaimana aku untuknya.
Persahabatan
kami sangat indah, khas anak sekolahan.
Dia
anak orang kaya, tapi dia sama sekali tak sombong. Dia sering mentraktirku.
Dia
cantik, tapi juga tak sombong. Dan justru bahagaia berteman denganku yang buruk
rupa.
Dia
sangat baik, sopan, tutur katanya lembut. Dia penyabar. Dia sangat pintar. Dia
pandai menulis, sekaligus jago ilmu eksakta. Sempurna. Tapi dia justru selalu
menganggapku jauh lebih pandai darinya. Dia belum menyadari mutiara intelek terpendam
dalam dirinya.
Dia
menerimaku kembali, jika saja saat itu aku menjelaskannya.
Tapi
saat itu aku
benar-benar tak tahu harus bagaimana.
Dia
merindukanku, sangat. Aku tahu itu.
Aku
pun begitu.
Tapi
tetap aku masih bergeming.
Waktu
terus berjalan, meninggalkan mereka yang tak mampu meraih kemungkinan besar
yang akan mengubah kehidupannya.
Waktu
terus berjalan, dia semakin menjauhiku.
Dia
bahagia, atau mungkin pura-pura bahagia, dengan kawan se-gengnya. Ya, kawan,
bukan sahabat. Kutahu, dari hatinya yang terdalam, saat itu masih tetap aku
sahabatnya—teman terbaiknya.
Aku
juga senang dengan sahabat-sahabat baruku. Tapi aku sedih harus kehilangan dia.
Aku rela kehilangan sahabat-sahabat baruku ini untuk mendapatkannya kembali.
Tapi bagaimana???
Kadang
aku berpikir, mungkin sekarang dia benar-benar sudah tidak menganggapku sahabat
lagi.
Tapi,
suatu
hari aku terserang sakit.
Aku
hampir tak pernah sakit.
Aku
selalu sehat dan ceria, dan kocak, dan konyol.
Aku
terbaring di rumah sakit.
Dia
tentu saja menjengukku. Penampilanku acak-acakan. Aku tak bisa bangun. Aku
melihatnya berlutut di sampingku. Aku masih berada di ranjang darurat UGD saat
itu. Dia mungkin hampir tak percaya aku bisa sesakit itu. Ketika keram ototku
muncul, aku merintih-rintih kesakitan selama beberapa menit. Keram itu sering
muncul, sebagai reaksi dehidrasi tubuhku yang tak mendapat cukup air ketika
sakit beberapa hari sebelumnya.
Dia
melihatku tak bisa menahan rasa sakit itu. Ketika rasa sakit itu akhirnya mulai
hilang, aku lebih tenang, tapi aku menangis. Kutarik selimut sampai ke
hidungku. Aku mengucapkan namannya, lalu kukatakan, “aku sakit.”
Saat
itu.
Saat
itu.
Ya,
saat itu aku, mendengar sesuatu. Di sampingku.
Dia
menangis.
Dia
sesenggukan di samping tubuhku.
Dia
tak bisa berhenti menangis.
Isakannya
pelan, tapi sangat jelas terdengar sedih.
Dia
terus menangis sambil menyebut namaku.
Dia
terus menyebut namaku. Hanya itu yang diucapkannya.
Dan
dia terus menangis dengan mengulang-ulang namaku.
Saat
itu,
aku
tahu, aku sadar. Dia selalu sahabatku. Dia tak pernah menganggapku bukan
sahabatnya. Aku tahu, aku sadar, dia menyayangi dengan tulus.
Aku
tahu. Aku sadar.
Kukira
dia melupakanku. Ternyata dia tidak bisa.
Begitu
pun aku.
Aku
tahu. Aku sadar.
Kita
saling menyayangi. Saat itu.
Aku
tahu itu.
0 komentar:
Posting Komentar