Suatu
hari di hari ujian, aku syok mendapatkan suatu masalah besar. Bukan salahku,
tapi besar sekali dampaknya bagiku. Aku jatuh ke dalam sebuah kesedihan yang
sangat dalam. Aku tak pernah mengira itu akan menimpaku. Tidak, itu bukan
sekedar menimpa, itu menghujamku, menghancurkan keceriakanku untuk beberapa
waktu. Menghilangkan kepercayaanku pada tokoh antagonisnya. Menghilangkan rasa
sayangku yang pernah dengan tulus kubangun. Semuanya hilang. Rasa sayang itu
bahkan kuragukan masih kumiliki sampai sekarang, setelah enam tahun berlalu.
Saat
itu aku begitu terguncang. Tapi aku harus tetap meneruskan ujianku yang baru
sampai hari kedua. Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, menempati bangku
ujianku, dan mengerjakan soal. Sebagai anak yang tertutup, aku dengan otomatis
menyembunyikan kesedihanku. Aku berpura-pura ceria dan bahagia selama di
sekolah. Semua teman dan pengawas ujian kami, benar-benar tertipu oleh senyum
dan tawa bohongku. Semuanya. Semua teman-temanku. Kecuali dia.
Entah
bagaimana dia melakukannya. Tapi dia menghampiriku pada jeda istirahat dan
menanyakan kabarku. Bertanya kabar bukanlah kebiasaan kami. Aku menjawab
baik-baik saja. Dia bertanya lagi, apa semuanya baik-baik saja. Aku menjawab
ya. Benarkah, tanyanya. Ya, jawabku. Kamu bohong, cetusnya. Nggak, bohong apa?
Tukasku.
“Aku
tahu kamu lagi sedih kan,” katanya lembut dengan mata begitu tulus. Aku masih
ingat ekspresi wajahnya saat itu.
Aku
kaget. Dari mana dia tahu? Aku sudah terlihat ceria seperti biasanya. Semua
orang juga tertipu, kenapa dia tidak?
Nggak
kok, elakku.
“Alvi,
aku bisa lihat tahu. Kelihatan dari matamu. Kamu gak bisa bohong sama aku.”
Nggak
kenapa-kenapa kok, menjadi jawabanku dari balik keadaanku yang kenapa-kenapa.
Akhirnya dia menyerah mendesakku.
“Ya
sudah, kalau ada apa-apa bilang aja ya.”
Aku
yang tertutup. Aku yang ekstrovet. Aku terlalu terpukul untuk menyadari bahwa
dia ada untukku. Bahwa aku boleh menceritakan masalahku kepadanya. Bahwa aku
tak usah memikulnya sendirian. Bahwa bukan kesalahanku jika aku tak bisa menyelesaikan
masalah itu. Bahwa tak apa-apa jika aku mau menangis.
Sampai
beberapa tahun aku tak mampu menceritakannya. Seharusnya kuberi tahu dia yang
sesungguhnya. Sebelum kami berpisah dan berada di sekolah yang berbeda. Sebelum
aku merindukannya selama enam bulan penuh
kemudian. Dan menyesal. Mengapa aku begitu
tertutup.
Aku,
benar-benar tidak menyadari bahwa, hari saat dia menanyakan keadaanku itu, dia
adalah sahabat terbaik pertamaku. Dan akan selamanya begitu.
Saat aku akhirnya memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya, dia sudah tak lagi di sisiku sebagai sahabatku yang dulu.
Tapi tetap saja, dan tentu saja, dia mengerti. Dia menerimaku kembali. Dan
akan selamanya begitu.
0 komentar:
Posting Komentar