About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, Juli 05, 2014

Suatu Hari di Hari Ujian



Suatu hari di hari ujian, aku syok mendapatkan suatu masalah besar. Bukan salahku, tapi besar sekali dampaknya bagiku. Aku jatuh ke dalam sebuah kesedihan yang sangat dalam. Aku tak pernah mengira itu akan menimpaku. Tidak, itu bukan sekedar menimpa, itu menghujamku, menghancurkan keceriakanku untuk beberapa waktu. Menghilangkan kepercayaanku pada tokoh antagonisnya. Menghilangkan rasa sayangku yang pernah dengan tulus kubangun. Semuanya hilang. Rasa sayang itu bahkan kuragukan masih kumiliki sampai sekarang, setelah enam tahun berlalu.
Saat itu aku begitu terguncang. Tapi aku harus tetap meneruskan ujianku yang baru sampai hari kedua. Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, menempati bangku ujianku, dan mengerjakan soal. Sebagai anak yang tertutup, aku dengan otomatis menyembunyikan kesedihanku. Aku berpura-pura ceria dan bahagia selama di sekolah. Semua teman dan pengawas ujian kami, benar-benar tertipu oleh senyum dan tawa bohongku. Semuanya. Semua teman-temanku. Kecuali dia.
Entah bagaimana dia melakukannya. Tapi dia menghampiriku pada jeda istirahat dan menanyakan kabarku. Bertanya kabar bukanlah kebiasaan kami. Aku menjawab baik-baik saja. Dia bertanya lagi, apa semuanya baik-baik saja. Aku menjawab ya. Benarkah, tanyanya. Ya, jawabku. Kamu bohong, cetusnya. Nggak, bohong apa? Tukasku.
“Aku tahu kamu lagi sedih kan,” katanya lembut dengan mata begitu tulus. Aku masih ingat ekspresi wajahnya saat itu.
Aku kaget. Dari mana dia tahu? Aku sudah terlihat ceria seperti biasanya. Semua orang juga tertipu, kenapa dia tidak?
Nggak kok, elakku.
“Alvi, aku bisa lihat tahu. Kelihatan dari matamu. Kamu gak bisa bohong sama aku.”
Nggak kenapa-kenapa kok, menjadi jawabanku dari balik keadaanku yang kenapa-kenapa. Akhirnya dia menyerah mendesakku.
“Ya sudah, kalau ada apa-apa bilang aja ya.”
Aku yang tertutup. Aku yang ekstrovet. Aku terlalu terpukul untuk menyadari bahwa dia ada untukku. Bahwa aku boleh menceritakan masalahku kepadanya. Bahwa aku tak usah memikulnya sendirian. Bahwa bukan kesalahanku jika aku tak bisa menyelesaikan masalah itu. Bahwa tak apa-apa jika aku mau menangis.
Sampai beberapa tahun aku tak mampu menceritakannya. Seharusnya kuberi tahu dia yang sesungguhnya. Sebelum kami berpisah dan berada di sekolah yang berbeda. Sebelum aku merindukannya selama enam bulan penuh kemudian. Dan menyesal. Mengapa aku begitu tertutup.
Aku, benar-benar tidak menyadari bahwa, hari saat dia menanyakan keadaanku itu, dia adalah sahabat terbaik pertamaku. Dan akan selamanya begitu.
Saat aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengungkapkannya, dia sudah tak lagi di sisiku sebagai sahabatku yang dulu. Tapi tetap saja, dan tentu saja, dia mengerti. Dia menerimaku kembali. Dan akan selamanya begitu.

Ceritaku dan Dia



Aku pergi ke sekolah setiap hari. Belajar dengan baik. Bergaul dengan teman-temanku. Bercanda, tertawa, makan bersama, dan seterusnya.
            Tapi aku tak selalu benar-benar menikmatinya. Banyak pula bagian dari itu yang hanya pura-puraku saja. Aku iri. Aku iri pada teman-temanku yang tetap bisa dekat dengan sahabatku, sementara aku tersingkir.
Kesalahan dan kesalah pahaman bodoh yang kekanak-kanakan. Lebih bodoh lagi, aku tak meluruskannya. Aku membiarkannya semakin parah. Aku menyedihkan diriku sendiri dan sahabatku.
Tapi saat itu, aku memang benar-benar tak tahu tindakan apa yang harus kuambil. Mulutku terkunci sampai saat-saat terakhir. Kata-kata tak pernah keluar, kutinggalkan tak terucapkan.
Aku menyayangi sahabatku. Pertama kalinya aku merasa benar-benar memiliki sahabat adalah ketika aku dengannya. Kenyataan itu semakin indah ketika kutahu, dan bahkan dengan terang-terangan, ia menunjukkan kepadaku bahwa persahabatan kami adalah nyata, dan tulus.
Meskipun ada teman-teman dekat lain di geng kami, aku tetaplah teman terbaiknya. Akulah tempat pertama curahan hatinya. Akulah orang pertama tempatnya mengobrolkan dan mendiskusikan berbagai hal. Akulah pilihan pertamanya untuk dijadikan sahabatnya. Akulah. Aku tahu itu. Karena ia menunjukkannya. Dan dia terhadapku, adalah sama bagaimana aku untuknya.
Persahabatan kami sangat indah, khas anak sekolahan.
Dia anak orang kaya, tapi dia sama sekali tak sombong. Dia sering mentraktirku.
Dia cantik, tapi juga tak sombong. Dan justru bahagaia berteman denganku yang buruk rupa.
Dia sangat baik, sopan, tutur katanya lembut. Dia penyabar. Dia sangat pintar. Dia pandai menulis, sekaligus jago ilmu eksakta. Sempurna. Tapi dia justru selalu menganggapku jauh lebih pandai darinya. Dia belum menyadari mutiara intelek terpendam dalam dirinya.
Dia menerimaku kembali, jika saja saat itu aku menjelaskannya.
Tapi saat itu aku benar-benar tak tahu harus bagaimana.
Dia merindukanku, sangat. Aku tahu itu.
Aku pun begitu.
Tapi tetap aku masih bergeming.

Waktu terus berjalan, meninggalkan mereka yang tak mampu meraih kemungkinan besar yang akan mengubah kehidupannya.
Waktu terus berjalan, dia semakin menjauhiku.
Dia bahagia, atau mungkin pura-pura bahagia, dengan kawan se-gengnya. Ya, kawan, bukan sahabat. Kutahu, dari hatinya yang terdalam, saat itu masih tetap aku sahabatnya—teman terbaiknya.
Aku juga senang dengan sahabat-sahabat baruku. Tapi aku sedih harus kehilangan dia. Aku rela kehilangan sahabat-sahabat baruku ini untuk mendapatkannya kembali. Tapi bagaimana???
Kadang aku berpikir, mungkin sekarang dia benar-benar sudah tidak menganggapku sahabat lagi.

Tapi,
suatu hari aku terserang sakit.
Aku hampir tak pernah sakit.
Aku selalu sehat dan ceria, dan kocak, dan konyol.
Aku terbaring di rumah sakit.

Dia tentu saja menjengukku. Penampilanku acak-acakan. Aku tak bisa bangun. Aku melihatnya berlutut di sampingku. Aku masih berada di ranjang darurat UGD saat itu. Dia mungkin hampir tak percaya aku bisa sesakit itu. Ketika keram ototku muncul, aku merintih-rintih kesakitan selama beberapa menit. Keram itu sering muncul, sebagai reaksi dehidrasi tubuhku yang tak mendapat cukup air ketika sakit beberapa hari sebelumnya.
Dia melihatku tak bisa menahan rasa sakit itu. Ketika rasa sakit itu akhirnya mulai hilang, aku lebih tenang, tapi aku menangis. Kutarik selimut sampai ke hidungku. Aku mengucapkan namannya, lalu kukatakan, “aku sakit.”
Saat itu.
Saat itu.
Ya, saat itu aku, mendengar sesuatu. Di sampingku.
Dia menangis.
Dia sesenggukan di samping tubuhku.
Dia tak bisa berhenti menangis.
Isakannya pelan, tapi sangat jelas terdengar sedih.
Dia terus menangis sambil menyebut namaku.
Dia terus menyebut namaku. Hanya itu yang diucapkannya.
Dan dia terus menangis dengan mengulang-ulang namaku.
Saat itu,
aku tahu, aku sadar. Dia selalu sahabatku. Dia tak pernah menganggapku bukan sahabatnya. Aku tahu, aku sadar, dia menyayangi dengan tulus.
Aku tahu. Aku sadar.
Kukira dia melupakanku. Ternyata dia tidak bisa.
Begitu pun aku.

Aku tahu. Aku sadar.
Kita saling menyayangi. Saat itu.
Aku tahu itu.